Propinsi NTT dikenal sebagai daerah rawan kekeringan dan dalam tahun-tahun terakhir ini sering dilaporkan terjadinya keterlambatan musim hujan dan musim kemarau panjang. Kasus kerawanan pangan, gagal panen, dan gizi buruk sering dilaporkan terjadi hampir setiap tahun. Banyak organisasi, baik di tingkat lokal, nasional dan internasional telah memberikan bantuan dan melakukan banyak program. Akan tetapi, sepertinya masalah kerawanan pangan tersebut belum dapat dipecahkan sepenuhnya.
Propinsi NTT mempunyai penduduk sekitar 4 juta jiwa yang mendiami 42 pulau dari 566 pulau yang ada. Ada empat pulau utama yang disebut Flobamora; yaitu Flores, Sumba, Timor dan Alor. Luas total propinsi NTT diperkirakan sekitar 47.350 km2 (2,5% dari seluruh luas Indonesia); yang utamanya berbentuk pegunungan dan perbukitan dengan sedikit daerah dataran. Secara administrasi, propinsi NTT mempunyai 16 kabupaten.
Sebagai salah satu propinsi termiskin di Indonesia, propinsi NTT mempunyai penduduk miskin sebanyak 30%. Sebagian besar (>80%) penduduk bergantung penghidupannya pada pertanian, utamanya petani kecil. Umur harapan hidup adalah 63 tahun, yang merupakan umur harapan hidup terendah di Indonesia. Angka buta huruf juga yang tertinggi dibandingkan propinsi lainnya di Indonesia, yaitu 16%.
Angka buta huruf pada wanita sebesar 18%, akan tetapi di beberapa daerah seperti pulau Sumba dapat mencapai 30%. Angka kematian bayi sebesar 54 tiap 1000 kelahiran hidup, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka Indonesia 44 tiap 1000 kelahiran hidup. Sekitar 39% anak balita menderita gizi kurang; bahkan dibeberapa daerah angkanya dapat mencapai 50%.
Angka gizi kurang tersebut dapat meningkat pada masa musim lapar, yang dipengaruhi oleh pola musim hujan. Angka Kematian Ibu di Propinsi NTT sebesar 3.7/1000, lebih tinggi daripada tingkat nasional yang sebesar 3.1/1000.
Kesenjangan distribusi pendapatan menyebabkan perbedaan daya beli pangan pada tingkat masyarakat dan rumah tangga. Di tingkat propinsi, kesenjangan semakin lebar yang menunjukkan bahwa semakin sedikit kelompok masyarakat yang beruntung dengan pertumbuhan ekonomi, yang pada akhirnya menurunkan kapasitas untuk mendapatkan akses pangan secara ekonomi.
Pada tingkat masyarakat, kapasitas ekonomi ditentukan dari kepemilikan aset pertanian (karena 80% penduduk adalah petani), akses ke pasar dan akses pada penghidupan lain selain pertanian. Oleh karena itu, masyarakat dengan lahan dan pilihan penghidupan yang terbatas juga mempunyai penghasilan yang terbatas.
Mereka lebih rentan terhadap terjadinya krisis pada komponen aksesibilitas, seperti kenaikan harga pangan atau fluktuasi harga produksi pangan mereka. Perempuan, meskipun berperan besar dalam bidang pertanian dan penghidupan, merupakan kelompok rentan karena mereka tidak mempunyai kewenangan dalam membuat keputusan dan rendahnya upah yang mereka terima – bahkan dalam kondisi normal.
Respon dari pemerintah, meskipun dengan konsep yang bagus, menghadapi hambatan serius dalam hal manajemen yang tidak efektif, praktek yang buruk dan komitmen dana yang rendah. Kesulitan dalam koordinasi antar sektor masih merupakan masalah utama, selain dari ketergantungan kepada dana pusat sehingga tidak dapat mengatasi masalah lokal yang spesifik.
Masalah kerawanan pangan juga dimanifestasikan dengan tingginya prevalensi kurang gizi, termasuk didalamnya masalah kekurangan gizi mikro. Masalah kurang gizi di propinsi NTT sangat kronis dan sudah terjadi sejak usia dini. Masalah kurang gizi disebabkan kurangnya asupan makanan, baik dari segi kuantitas dan kualitas, termasuk rendahnya asupan makanan hewani, dan tingginya angka penyakit.
Besarnya masalah kurang gizi jgua berkaitan dengan rendahnya fasilitas dasar di tingkat rumah tangga, seperti rendahnya tingkat pendidikan, fasilitas sanitasi dasar dan air bersih, dan listrik. Meskipun intervensi gizi yang tepat telah tersedia dan berjalan rutin, tetapi kualitas dan cakupan program kurang mencapai tingkat yang tinggi untuk mendapatkan manfaat.
Angka gizi kurang tersebut dapat meningkat pada masa musim lapar, yang dipengaruhi oleh pola musim hujan. Angka Kematian Ibu di Propinsi NTT sebesar 3.7/1000, lebih tinggi daripada tingkat nasional yang sebesar 3.1/1000.
Kesenjangan distribusi pendapatan menyebabkan perbedaan daya beli pangan pada tingkat masyarakat dan rumah tangga. Di tingkat propinsi, kesenjangan semakin lebar yang menunjukkan bahwa semakin sedikit kelompok masyarakat yang beruntung dengan pertumbuhan ekonomi, yang pada akhirnya menurunkan kapasitas untuk mendapatkan akses pangan secara ekonomi.
Pada tingkat masyarakat, kapasitas ekonomi ditentukan dari kepemilikan aset pertanian (karena 80% penduduk adalah petani), akses ke pasar dan akses pada penghidupan lain selain pertanian. Oleh karena itu, masyarakat dengan lahan dan pilihan penghidupan yang terbatas juga mempunyai penghasilan yang terbatas.
Mereka lebih rentan terhadap terjadinya krisis pada komponen aksesibilitas, seperti kenaikan harga pangan atau fluktuasi harga produksi pangan mereka. Perempuan, meskipun berperan besar dalam bidang pertanian dan penghidupan, merupakan kelompok rentan karena mereka tidak mempunyai kewenangan dalam membuat keputusan dan rendahnya upah yang mereka terima – bahkan dalam kondisi normal.
Respon dari pemerintah, meskipun dengan konsep yang bagus, menghadapi hambatan serius dalam hal manajemen yang tidak efektif, praktek yang buruk dan komitmen dana yang rendah. Kesulitan dalam koordinasi antar sektor masih merupakan masalah utama, selain dari ketergantungan kepada dana pusat sehingga tidak dapat mengatasi masalah lokal yang spesifik.
Masalah kerawanan pangan juga dimanifestasikan dengan tingginya prevalensi kurang gizi, termasuk didalamnya masalah kekurangan gizi mikro. Masalah kurang gizi di propinsi NTT sangat kronis dan sudah terjadi sejak usia dini. Masalah kurang gizi disebabkan kurangnya asupan makanan, baik dari segi kuantitas dan kualitas, termasuk rendahnya asupan makanan hewani, dan tingginya angka penyakit.
Besarnya masalah kurang gizi jgua berkaitan dengan rendahnya fasilitas dasar di tingkat rumah tangga, seperti rendahnya tingkat pendidikan, fasilitas sanitasi dasar dan air bersih, dan listrik. Meskipun intervensi gizi yang tepat telah tersedia dan berjalan rutin, tetapi kualitas dan cakupan program kurang mencapai tingkat yang tinggi untuk mendapatkan manfaat.
*) Diringkas dari beberapa sumber
*) Dikutip dari : http://bencana-ntt.blogspot.com/p/ntt.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar