MAHASISWA NASIBMU KINI
(Untuk Almarhumah Sesilia Radja, Mahasiswi FISIP Undana)
Oleh Viktus Murin
---------------------
Kolumnis dan Wartawan, tinggal di Jakarta
----------------------
"BENTROK fisik antara mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Nusa Cendana dan mahasiswa Politeknik Pertanian Negeri Kupang di Kupang, Nusa Tenggara Timur, Senin (17/11/2008), menyebabkan satu orang tewas dan sembilan luka-luka. Peristiwa itu berawal dari saling ejek" (Kompas, Selasa 18/11).
Menyimak lead berita di atas, batin kita miris. Hati kita sedih bukan kepalang. Akal sehat kita serta-merta menggugat. Apa sesungguhnya yang sedang terjadi dengan para mahasiswa di negeri tercinta ini? Bentrokan mahasiswa bersenjatakan batu-kayu menjadi semacam fenomena. Hanya berhitung jam dengan bentrokan mahasiswa di Kupang, tawuran mahasiswa pun pecah di Makassar-Sulawesi Selatan, Senin (17/11/2008), yang melibatkan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Makassar (UMM).
Dua hari sesudahnya, Rabu (19/11/2008), tawuran mahasiswa kembali pecah di Makassar, kali ini di kampus Universitas 45. Belum lama berselang, di paruh Oktober 2008, terjadi tawuran antar mahasiswa di ibu kota negara, yakni antara mahasiswa Universitas Persada YAI versus mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI). Letak kedua kampus ini bertetangga, di bilangan Salemba, Jakarta Pusat. Masih dalam perjalanan tahun 2008, tawuran mahasiswa pecah pula di Kendari-Sulawesi Tenggara, Ternate-Maluku Utara, dan sejumlah daerah lainnya.
Kupang, Senin kelabu, 17 November 2008. Bentrokan mahasiswa di teritori kampus yang melibatkan mahasiswa FH Undana Kupang versus mahasiswa Politani Kupang, tidak hanya merusak aset-aset kampus, tetapi juga menimbulkan korban luka-luka, bahkan meminta tumbal nyawa seorang mahasiswi belia, Seselia Radja (19). Mahasiswa semester I FISIP Undana ini mungkin sedang giat-giatnya mengejar masa depannya di bangku kuliah. Sebagaimana diberitakan, Sesilia pingsan di area bentrokan dan sempat dilarikan ke rumah sakit, namun nyawanya tidak tertolong. Diperkirakan ia meninggal dalam perjalanan (Kompas 18/11/2008).
Mari sejenak kita bayangkan ketakutan yang mencekam Sesilia, saat batu dan kayu beterbangan di atas kepalanya saat terkepung di tengah bentrokan mahasiswa. Mari sejenak kita berempati pada semua korban luka-luka. Mari kita berharap agar tidak ada lagi Sesilia-Sesilia yang lain, yang mesti kehilangan nyawanya sebagai tumbal dari bentrokan sia-sia antar mahasiswa. Mari kita merunduk dalam-dalam, dan memanjatkan doa bagi jiwa Sesilia, semoga ia beroleh peraduan abadi di dalam Rumah TUHAN.
Ungkapan seperti apa yang mesti disuarakan saat menyaksikan para mahasiswa, insan-insan akademis yang semestinya meletakkan intelektualitas (kekuatan ide) sebagai identitasnya, justru membiarkan dirinya terperosok jatuh ke dalam impuls saraf paling primitif yakni perang batu dan kayu? Penyesalan model apa lagi yang harus dinyatakan ketika melihat para mahasiswa saling mengejek, mengumpat, menghujat, dan memaki, kemudian dengan wajah beringas melontarkan batu-kayu dalam posisi saling menyerang sebagai musuh? Oh mahasiswa, riwayatmu kini...
Gejala sakit sosial
Di tengah amuk massa yang menjadi ciri paling menonjol dari euforia reformasi, sebenarnya kita berharap agar rasionalitas dapat berdiri kokoh di ruang-ruang akademik bernama kampus. Tapi, apakah yang kita dapati? Ternyata amuk massa telah memangsa pula kaum terdidik bernama mahasiswa. Bila kita telusuri secara seksama, tawuran mahasiswa seperti yang terjadi di seantero negeri ini, memberi pertanda kuat bahwa ada gejala sakit sosial yang sedang mewabah di tengah-tengah kehidupan kita.
Dalam masyarakat berpola patron-klien seperti Indonesia, tidak ada unsur-unsur sosial yang berdiri sendiri. Struktur sosial masyarakat kita mengandaikan adanya korelasi antara patron (elite pemimpin) dengan klien (massa pengikut). Euforia massal yang menjelma dalam wujud anarkisme ibaratnya tumbuh mewabah di mana-mana. Ada tawuran mahasiswa, bentrokan pedagang kaki lima versus aparat tramtib, konflik fisik antar oknum polisi dan oknum militer, konflik massa pasca pilkada, kerusuhan massa akibat unjuk rasa/demo, hingga konflik kekuasaan politik dan ekonomi antar-elite. Inikah gejala-gejala sakit sosial yang sedang menggerogoti tatanan masyarakat kita?
Apakah tawuran mahasiswa adalah potret sosial di tengah zaman mutakhir kita yang sedang retak? Benarkah tawuran mahasiswa adalah duplikasi dari budaya elite di negeri ini yang rentan terhadap berbagai konflik kepentingan? Apakah tawuran mahasiswa menjadi pertanda bahwa sedang terjadi erosi logika yang teramat parah pada diri mahasiswa sebagai lapisan elite pemuda? Masih mungkinkah kita memosisikan kampus sebagai monumen intelektualisme demi meraih masa depan bangsa yang gemilang, saat para mahasiswa justru lebih tertarik pada tradisi tawuran? "Terowongan gelap tidak berujung, mungkin itu metafora kehidupan zaman ini," ucap Gede Prama, penulis kontemplatif dan pegiat filsafat otodidak asal Pulau Dewata, Bali.
Sejenak kita menoleh ke masa silam, meneropong ke balik pintu sejarah pergerakan kemerdekaan, di sana kita dapati para mahasiswa yang secara brilian menggaungkan ide-ide besarnya untuk ikut menghantar bangsanya memasuki pintu gerbang kemerdekaan. Sekilas kita berbalik pulang ke masa lampau, menyusuri tapak-tapak awal era kemerdekaan, di sana kita bertemu para mahasiswa yang dengan ide-ide besarnya menyokong revolusi yang belum selesai. Sepintas kita tengok lagi jarum jam sejarah seputar berputarnya roda reformasi, di sana kita jumpai para mahasiswa yang dengan gagah berani, bermula dari ide-ide besarnya, berhasil merobohkan rezim tiran. Sekarang, apa yang kita dapati pada eksistensi mahasiswa kita? Apa yang bisa kita banggakan saat menyaksikan para mahasiswa hanya mampu menyuburkan tradisi tawuran? Oh mahasiswa, riwayatmu kini...
Menegakkan hukum positf
Acapkali, dalam sejumlah kasus tawuran mahasiswa di tanah air, pihak rektorat atau otoritas kampus tempat kejadian perkara, lazimnya menempuh penyelesaian damai secara internal. Dalam penanganan internal itu, ada mahasiswa yang dipecat karena memprovokasi terjadinya tawuran, ada yang di-skorsing, ada yang diberi peringatan atau teguran keras, semuanya disesuaikan dengan kadar kesalahan yang dibuat.
Dengan mengedepankan penyelesaian damai secara internal, otoritas kampus memilih untuk tidak melibatkan aparat penegak hukum dalam menangani kasus bentrokan mahasiswa. Hal ini merupakan anomali atau keanehan dalam upaya penegakan hukum positif. Bukankah tawuran sudah merupakan delik pidana karena telah mengganggu ketertiban umum, apalagi bila telah jatuh korban jiwa akibat peristiwa tersebut? Di masa mendatang, diperlukan upaya komprehensif untuk menangani kasus-kasus tawuran mahasiswa dengan menggunakan hukum positif guna memberikan efek jera bagi para mahasiswa pelaku tawuran. Untuk itu, aparat penegak hukum sudah seharusnya mengambil posisi proaktif untuk menangani kasus-kasus tawuran mahasiswa.
Kebebasan mimbar akademis yang berlaku di kampus-kampus adalah kebebasan berpikir dan menyampaikan ide-ide akademis. Adalah terang dan jelas bahwa tawuran bukanlah bagian dari kebebasan mimbar akademi yang memang ditradisikan di kampus. Tawuran adalah tawuran. Bentrokan adalah bentrokan. Apabila tawuran atau bentrokan itu sudah menimbulkan gangguan ketertiban umum, apalagi mengakibatkan jatuh korban luka-luka atau meninggal dunia, maka hal itu merupakan perbuatan pidana. Dengan demikian, penanganannya pun mesti ditempuh dengan cara menegakkan hukum positif yang berlaku di negeri ini.
Mahasiswa adalah kaum intelektual yang mesti meletakkan intelektualitas sebagai kekuatan utama dalam penanganan setiap masalah yang dihadapi, baik dalam dataran personal maupun kolektif. Tawuran atau bentrokan mahasiswa adalah perbuatan yang telah menodai eksistensi mahasiswa sebagai komunitas intelektual. Sesungguhnya, saat ini, ada banyak mahasiswa yang mampu dan terus membuat prestasi bagi bangsanya. Namun, sayangnya, tawuran atau bentrokan mahasiswa telah mencemari catatan prestasi para mahasiswa secara keseluruhan. Ironis. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga! Kenapa mesti tawuran, bila tersedia ruang hati untuk berdialog secara damai? "Kehalusan dan kebaikan hati bukan pertanda kelemahan dan putus asa, tapi perlambang kekuatan dan keteguhan," tutur sang penyair humanis Kahlil Gibran. *
Sumber: Pos Kupang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar