Oleh : Marthen Watrimny**
Setelah mengikuti kegiatan 2nd Annual Youth Gathering di Jogjakata yang dilaksanakan American Friends Service Committee (AFSC) pada akhir Januari 2010, banyak sekali hal baru yang kemudian diadopsi menjadi kekayaan intelektual pribadi saya. Seiring dengan waktu, kegiatan yang dikemas begitu indah, santun dan olek serta fleksibel itu pun berakhir. Tentunya dengan menghasilkan berbagai point harapan dan rekomendasi untuk semua peserta dari berbagai komunitas seperti Jogjakarta Peace Generation (JPG), Aceh Peace Generation (APG) dan Molluccas Peace Generation (MPG). Fakultas Pertanian, Universitas Nusa Cendana, Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Comunnity Creativitas Para Muda (Cikrip) yang terletak di Idi, Aceh Timur, Nangro Aceh Darussalam (NAD).
Ada doktrin dan pemahaman yang ditanamkan dalam diri semua peserta yang tentunya bermuara pada pentingnya kedamaian itu dalam sebuah kehidupan yang sesungguhnya. Namun ada pertanyaan besar yang mengganjal dalam hati saya, kenapa sampai semua orang berbicara Peace (damai), apakah ini merupakan sebuah kebutuhan, benarkah damai itu ada dipersimpangan jalan ?
Pertanyaan ini tidak perlu dijawab secara lugas oleh kita semua namun harus dijawab dan direnungkan dalam diri kita masing-masing. Damai itu sendiri telah menjadi “buah bibir” semua kalangan baik petani, tukang ojek, pemulung sampah, ibu rumah tangga, pegawai negeri dan swasta hingga kalangan pejabat tingkat kabupaten, provinsi maupun kalangan pemerintah pusat. Namun, kenapa damai itu menjadi penting untuk dibicarakan ?. Alasan hanya satu, karena terjadi kekerasan dan konflik dimana-mana. Damai itu akan hadir ketika ada konflik. Dengan kata lain, konflik dan damai itu berjalan bersama mengintari peradaban manusia.
Damai itu benar-benar ada namun sulit untuk digapai sejumlah orang bahkan seakan-akan menjadi momok. Bagi orang yang keras kepala dengan sedikit mewarasi sifat provokator sering menjadi pionir dalam terciptanya sebuah konflik. Hal inilah yang menguatkan judul tulisan ini bahwa mungkin damai itu ada tetapi bisakah diterima insan manusia. Damai itu berdiri jauh dipersimpangan jalan menunggu orang-orang yang membutuhkannya.
Lalu, siapakah yang membutuhkan damai itu ? tentunya orang-orang yang terlibat konflik, kemudian diikuti keluarga dan masyarakat sekitar. Dengan kata lain semua orang membutuhkan damai.
Di Indonesia, damai itu dibutuhkan dari zaman ke zaman. Kenapa, karena Indonesia dari dulu sampai sekarang selalu ada konflik, permusuhan hingga peperangan baik antar suku, agama, warga dan aparat keamanan hingga antar mahasiswa.
Tentunya ada rekonstruksi dan rekonsiliasi yang harus diterapkan guna menciptakan dan menghadirkan kedamaian tersebut. Nanggro Aceh Darussalam dan Maluku serta Timor-Timur (Timor Leste sekarang) menjadi pelajaran penting yang harus merasuki jiwa insan masyarakat Indonesia. Banyak jiwa-raga, harta-benda dan pengorbanan yang hilang akibat konflik berkepanjangan tersebut.
Dalam analisis saya, kondisi terpuruk yang dialami masyarakat di daerah-daerah konflik sangat mempengaruhi daya pikir dan tingkat intelektual mereka. Secara psikologi, mereka sangat terpukul dengan berbagai kejadian. Untuk itu, mereka tidak membutuhkan seorang politisi yang hebat, ekonom yang handal serta tentara yang kuat namun mereka membutuhkan teman yang mengerti dan mau hidup bersama-sama dengan mereka dalam suka dan duka.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menghadiri hari perdamaian dunia ke-34 di Ambon, Rabu 25 Nopember 2009 menyatakan bahwa “ciri bangsa yang beradab adalah bangsa yang tak menyukai kekerasan, mencintai perdamaian dan menyelesaikan konflik dengan cara damai dan bermartabat. indonesia juga mengajak menyelesaikan berbagai perbedaan pertentangan secara damai’’ Dia juga menyerukan dialog antar peradaban, dialog antar agama, media, generasi muda agar satu sama lain makin mengenal. Hal ini membuktikan bahwa betapa pentingnya kedamaian itu.
Untuk Nusa Tenggara Timur (NTT), kalau mau dikatakan belum pernah ada kejadian konflik luar biasa hingga mencuri perhatian dunia. Namun, jujur harus kita katakan, NTT juga merupakan daerah yang sarat dengan konflik. Tidak perlu saling menuding antara satu dengan lainnya ataupun mengkambinghitamkan seseorang. Kalau kita petakan maka potensi konflik di NTT sangat tinggi.
Banyak hal yang tentunya menjadi ingatan dan refleksi kita bersama. Bagaimana kehidupan sosial-ekonomi-politik dan keamanan diperbatasan Indonesia dan Timor Leste sering kali teruji dengan sejumlah kasus-kasus yang membuat ketegangan antara kedua negara. Bahkan konflik internal di RDTL seperti 2006 lalu cukup memberi ketegangan di Timor Barat. 10 tahun sudah kita bertetangga. Sebagai generasi muda (mahasiswa) kita punya tanggung jawab untuk menjaga hubungan baik.
NTT adalah daerah yang rentan konflik dan kekerasan di aras horizontal masyarakat (perang suku/etnik sejak nenek moyang, perkelahian antar kampung/geng, perkelahian antar pelajar/mahasiswa, dst). Perang antar suku di sejumlah daerah, perkelahian antar geng baik pria maupun wanita pelajar di sejumlah sekolah di Kota Kupang, perkelahian antar mahasiswa bahkan konflik itu terjadi hingga pada aras anggota DPRD di sejumlah daerah.
NTT juga tidak lepas dari kerentanan atas konflik struktural dan politik. Polisi dan masyarakat contoh di Kabupaten Alor, Polisi Pamong Praja dan pedagang kaki lima di Kupang, TNI dan masyarakat di Kabupaten TTU, protes masyarakat atas kebijakan negara/pemda diberbagai kabupaten, sengketa pilkada diberbagai aras, konflik kebijakan tata ruang, konflik tambang, dll.
NTT amat rentan atas kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence) dimana korban dan pelaku tidak jauh lingkaran inti keluarga itu sendiri. Bukan hanya yang selalu kedengaran bahwa selalu korban KDRT itu adalah kaum perempuan namun saat ini kaum laki-laki pun menjadi korban. Sehingga bukan hanya istri lapor suami namun suamipun bisa lapor istri ke pihak kepolisian.
NTT sebagai daerah agraris tetapi rentan konflik dimana pertanian yang diandalkan sebagai sektor primer tetapi saat yang sama masyarakat petani memperebutkan akses atas sumber daya produksi. Tidak sedikit petani yang selalu mengeluh atas kekurangan air, pupuk, bibit. Konflik itu juga datang pada tataran pembagian hak tanah warisan hingga tata ruang kota, dll.
Selain itu yang menjadi penting saat ini adalah terlanjur image terbentuk dimasyarakat bahwa kampus pusat pendidikan, penelitian dan pengabdian justru menjadi pusat reproduksi konflik dan kekerasan. ini muncul ketika kampus yang sejatinya sebagai pusat reprokdusi intelektual dan teladan masyarakat justru memberi contoh buram. Tidak sedikit mahasiswa yang menjadi pemicu konflik di kota Ini.
Menurut salah seorang Pakar Hukum Undana, Jhon Nome, SH, M.Hum mengatakan semua konflik yang terjadi di NTT ini tidak dapat dilepas-pisahkan dengan sejumlah kebijakan pemerintah. Dengan kata lain, banyak kebijakan pemerintah yang menjadi pemicu terjadinya konflik horizontal maupun vertikal.
Ada juga pendapat Pakar Komunikasi Undana, Prof. Alo Liliweri mengatakan, kebanyakan konflik yang terjadi di NTT merupakan bagian dari ekspresi masyarakat akibat iklim dan cuaca daerah ini serta kebiasaan saling menyapa antar sesama. Orang NTT identik dengan kekerasan, mungkin karena hal-hal tersebut.
Apapun pendapat yang sampaikan, menjadi penting bagi kita untuk merefleksikan kembali penting suatu kehidupan yang indah dan harmonis. Kita semua menginginkan kehidupan yag penuh dengan canda dan tawa kebahagiaan. Oleh sebab itu, ambillah damai yang masih dipersimpangan jalan itu dan peliharalah dalam diri kita masing-masing dan tentunya terus diterapkan kapan saja dan dimana saja kita berada.
Jadilah seorang generasi cinta damai yang tidak perlu lagi menjadikan agama, suku-bangsa, pejabat atau pemulung, kulit hitam atau putih, kaya atau miskin, pintar atau bodoh, partai A atau B, rambut lurus maupun keriting sebagai faktor pembatas dalam pergerakan bersama menuju bangsa yang aman, tentram damai dan sentosa.
** Peserta 2nd Annual Youth Gathering, Aksi Pemuda Sebagai Agen Perdamaian di Jogjakarta
Ketua Badan Legislatif Mahasiswa Faperta Undana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar