(Refleksi terhadap Program MPG)
Oleh : Erna Suek**
Ditengah kesibukan disiang hari, hp ku berdering setelah dilihat ternyata aku dihubungi seniorku dengan mengabarkan bahwa aku akan berangkat ke Jogjakrta. Untuk mengikuti suatu kegiatan yang aku sendiri belum memahami maksud dan tujuannya seperti apa.
Tak pernah ada dalam pikiranku sebelumnya untuk aku harus berangkat ke Jogjakarta. Namun karena kegiatan ini yaitu aksi pemuda sebagai agen perdamaian, aku berada di Jogjakarta selama lima hari dari tanggal 29 Januari-2 Februari 2010. Dalam kegiatan tersebut banyak hal yang aku peroleh dari yang aku tidak dan belum sempat terpikirkan, akupun menjadi tahu banyak hal. Kegiatan kami disusun sistematis dan fleksibel dari hari ke hari yang sudah tentu menjadi rel bagi seluruh peserta. Kemasan acaranyapun tidak seformal kegiatan mahasiswa pada umumnya dimana diskusi antar peserta dilakukan layaknya dengan teman akrab sendiri serta dipandu panitia dan narasumber yang berkompeten sehingga nuasana diskusi tidak membosankan.
Disetiap kegiatan, aku selalu merasa senang terutama pada materi-materi yang diberikan dan dari masing-masing komunitas menyampaikan hasil kegiatan mereka. Yang membuat aku tertarik, program kegiatan Live In yang dilakukan Moluccas Peace Generation. Live in ini merupakan bagian dari terobosan pemuda untuk menghapus stigma dan saling curiga antar masyarakat khususnya yang berbeda kepercayaan. Rasa saling curiga antar sesama umat beragama sudah saatnya dihapuskan dalam pola pikir masyarakat Maluku. Masyarakat korban konflik butuh kehidupan yang tenang, aman, damai dan santai yang tentunya bebas dari segala bentuk intervensi agama yang satu dan lainnya. Aktifitas kantor, kuliah, sekolah,ladang serta sawah, ojek, becak dan aktifitas apa saja butuh kedamaian dan ketenangan. Dorongan atas kebutuhan inilah yang menjadi dasar dilakukannya Live In tersebut.
Sulit untuk diterima secara logika, namun hal ini benar-benar terjadi. Dendam yang dulu disimpan jauh dalam lubuk hati seorang korban konflik akhirnya berakhir juga. Dia tidak lagi mau melihat akan masa lalunya yang terpuruk akibat kehilangan orang tua kandungnya, rumah mewahnya, mobil, motor, uang dan harta miliknya yang lain. Namun sebaliknya, dengan tegar dan kuat Ia berkata “aku ingin melihat dan menatap masa depan saya yang penuh sukacita dan kebahagiaan”.
Tekad dan motivasi yang kuat inilah kemudian medorong suksesnya program loive in tersebut. Dimana ada rasa saling menerima antar sesama dalam perbedaan apapun. Konflik nuansa RAS itu berani diterobosi oleh puluhan pemuda dengan saling tukar rumah sebagai tempat tinggal. “Teman-teman Muslim disilahkan menetap selama tiga hari di pemukiman dan rumah penduduk yang beragama Kristiani. Begitu juga sebaliknya, teman-teman Kristian disilahkan tinggal di rumah penduduk ataupun keluarga Muslim”.
Dalam perjalanannya maka banyak hal yang dilakukan di masing-masing komunitas. Peserta Muslim turut merayakan Hari Paskah, Natal dan Tahun Baru bersama umat Kristen. Peserta Kristiani turut pun tidak ketinggalan, Ibadah Puasa hingga Ramadhan menjadi bagian dalam beberapa waktu hidup mereka.
Live in bukan hanya membawa dampak bagi peserta namun terlebih penting berdampak pada orang tua, teman-teman sejawat, serta lingkungan itu sendiri. Terobosan ini juga turut mempengaruhi tatanan kehidupan sosial, ekonomi dan budaya orang Ambon yang sudah lebih terbuka dan saling terima antar sesama. Walaupun tidak banyak namun melalui live inlah beberapa “tembok” pemisah umat berhasil dirobohkan.
Live in mendapat perhatian yang serius dari masyarakat Kota Ambon. Kota yang dulu hancur berantakan, penuh dengan nista, kebusukan dan kebencian, kini telah berubah. Live in harus tetap diteruskan hingga bumi ini berlalu dengan begitu setiap generasi baru yang terlahir harus benar-benar menjadi generasi cinta damai. Semoga
** Peserta 2nd Annual Youth Gathering di Jogjakarta, Mahasiswi Faperta Undana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar