Minggu, 10 Oktober 2010

Jauh di Mata Dekat di Hati

(Catatan Berkesan Saat Study Tour FGP)
Oleh : Yanuar Arifin*

Jauh di mata, dekat di hati, mungkin itulah kalimat yang cocok dijadikan sebagai judul tulisan ini. Tulisan ini berisi kesan setelah mengikuti kegiatan Flobamora Peace Field Trip 2010 (FPFT) yang diselenggarakan oleh Flobamora Peace Generation (FPG) pada 05 Juni 2010. Ada 4 lokasi yang menjadi target kunjungan dalam kegiatan perdana FPG ini, semuanya terletak di seputaran Kota Kupang. Setiap lokasi sangat menarik dan masing-masing memberikan kesan dan nilai tersendiri bagi setiap peserta.

Galeri Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kota Kupang menjadi sasaran pertama Study Tour tersebut. Bangunan ini belum lama berdiri, namun cepat dikatehui masyarakat kota karena berada pada posisi yang sangat strategis tepat di samping rumah jabatan Walikota Kupang. Bangunan dua lantai tersebut sengaja dipersiapkan khusus untuk aktifitas Dekranasda Kota Kupang baik untuk perkantoran maupun galeri pameran hasil kerajinan masyarakat, Ukuran galerinya tidak luas, sekitar 8X8 m, namun terasa cukup untuk menampung rombongan anak-anak FPG yang berjumlah 30-an orang. Di tempat inilah hasil-hasil kerajinan para pengrajin Kota Kupang dipamerkan, ada kain tenun, busana tradisional, perabotan rumah tangga, patung ukiran, dan pernak-pernik lain yang tampak tertata menarik dalam etalase kaca. Tak ada yang istimewa, bagi mereka yang sering mengunjungi arena pameran pembangunan setiap 17 Agustus, karena pernak-pernik yang ada di Dekranasda selalu ada saat pameran pembangunan.
Namun yang cukup unik adalah perabotan yang terbuat dari barang bekas yang tidak terpakai, contohnya seperti tas belanja yang di buat dari plastik bekas minyak goreng, dan ada juga piring yang terbuat dari kertas majalah bekas. “Cukup unik, saya sempat bertanya dalam hati bagaimana seandainya piring itu saya gunakan untuk makan, kemudian saya cuci, apakah tidak hancur piring kertas itu??,”
Tapi tampaknya tidak perlu dipertanyakan karena tentu saja barang kerajinan seperti itu lebih cocok untuk dipajang daripada digunakan sesuai fungsinya. Namun tentunya semua barang yang dijual disini punya pangsa pasar tersendiri.
Menurut petugas galeri yang memandu kami, galeri ini lebih banyak dikunjungi oleh tamu-tamu pemerintah Kota Kupang, dan para wisatawan, baik domestik maupun mancanegara yang mencari cinderamata untuk di bawa pulang ke daerah asalnya. Sedangkan masyarakat lokal (termasuk saya) lebih sering hanya lewat.
Kunjungan kami ke Galeri Dekranasda tidak begitu lama, hanya sekitar 15 menit, karena memang tidak banyak hal yang bisa dilakukan di tempat ini selain melihat-lihat dan ber-foto tentunya.
Perjalanan kemudian dilanjutkan ke Taman Makam Pahlawan Dharmaloka. “Sudah ribuan kali saya melintasi lokasi ini, namun seperti halnya di Dekranasda Kota Kupang, inilah moment untuk pertama kalinya saya memasuki taman yang memiliki makna historis. Bukan hanya saya tentunya, tetapi banyak peserta lain yang juga baru pertama kali mengunjungi tempat ini”.
Sangat disayangkan memang, karena ada suatu ungkapan bahwa “ bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya”, dengan mengunjungi dan memanjatkan doa tentu merupakan wujud penghargaan pada mereka.
Kedatangan kami kemudian disambut oleh seorang petugas penjaga makam, penjaga itu lalu menjelaskan mengenai tokoh-tokoh yang dimakamkan di tempat ini dan menceritakan riwayat singkat tentang Taman Makam Pahlawan ini. Selanjutnya kami lalu mengelilingi areal pemakaman ini untuk sekedar melihat-lihat, dan adapula sebagian yang memanjatkan doa. Di antara makam yang saya kenali antara lain yaitu Makam Mantan Gubernur NTT, Bapak El Tari, dan Bapak Piet .A. Tallo, kemudian juga makam mantan Gubernur Timor-Timur, Bapak Jose Osorio Soares. Adapula makam yang tidak bernama, mungkin gugur dalam medan perang dan tidak sempat dikenali. Yang berkesan yaitu pada banyak batu nisan tertera nama-nama pahlawan yang bukan orang asli NTT, hal yang menunjukan bahwa para pejuang kita dahulu selalu bersatu dan tak pernah membedakan daerah asal dalam berjuang, dimanapun mereka berada maka disitulah mereka berjuang demi mewujudkan kemerdekaan republik ini, bahkan hingga gugur dan dimakamkan ditanah perantauan, jauh dari sanak saudara, suatu nilai yang patut di contoh saat ini dimana rasa ke-daerahan sangat kental terasa.
“Terik matahari semakin terasa panas disiang itu, jam tangan menunjukan tepat pukul 13.03 maka kunjungan kami di tempat inipun kami akhiri dengan foto bersama di monument yang ada di tengah Taman Makam Pahlawan ini. Kami lalu melanjutkan perjalanan ke lokasi selanjutnya. Kali ini yang menjadi tujuan kami adalah Sentra Tenun Ikat Ina Ndao” yang berada di Kelurahan Naikoten”.
Lokasi ini terletak di tengah wilayah pemukiman masyarakat sehingga tidak diketahui secara luas keberadaannya. Bangunan yang sangat sederhana bagi sebagian orang baru, tetapi ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan, demikian ketika berada di dalamnya. Ada galeri dan stand pameran tenun ikat hasil kerja keras tangan-tangan professional.
Sekilas ruangan ini tampak sama saja dengan ruangan galeri Dekranasda Kota Kupang, namun bedanya adalah di rumah yang berdiri di atas lahan seluas kurang lebih 1 hektar ini selain terdapat ruang pamer juga terdapat bengkel tenun dan juga sekaligus menjadi tempat tinggal sang pemilik Ina Ndao, yaitu ibu Lusi beserta keluarganya.
Pemilik sentra tenun ikat Ina Ndao, Ibu Dortje Lusi dalam keramahtamahannya mengajak peserta bukan hanya untuk melihat hasilnya, namun peserta juga bisa melihat proses pemintalan benang hingga penenunan dilakukan.
Ibu Lusi menjelaskan, usaha ini merupakan peninggalan orang tua. Semasa kecil, orang tua sudah menjadi pengrajin tenunan namun hanya khusus untuk tenunan motif daerah Rote Ndao saja. “Ketika orang tua meninggal, secara otomatis pekerjaan ini terhenti namun karena merasa senang maka pekerjaan itu dilanjutkan oleh saya”, ungkapnya.
Bertahan dengan pendidikan yang pas-pasan (hanya tamatan SMP), Ibu Dortje menambahkan dengan terkad yang kuat maka, pola managemen dan kerja sama dikembangkan. Dengan mengajak keluarga dan saudara lainnya untuk tergabung maka usaha ini terus berkembang bahkan bukan hanya untuk motif Rote Ndao saja tetapi motif dari seluruh daerah yang ada di NTT.
“Mendengarnya, saya menjadi kagum terhadap sosok Ibu Dortje, seorang yang hanya berpendidikan rendah, namun mempunyai tekad yang kuat sehingga bisa mencapai kesuksesan seperti saat ini. Bukan hanya mencapai kesuksesan bagi dirinya sendiri, tetapi juga dapat memberikan penghidupan bagi ratusan penenun lain yang menjadi binaan Ina Ndao, sungguh bukan sesuatu pencapaian yang mudah. Saya pun sacara pribadi di dalam hati merasa termotivasi, jika ibu Dortje yang seorang tamatan SMP dapat berbuat demikian, bagaimana dengan saya yang tak lama lagi akan menjadi seorang Sarjana Pertanian,,,”.
Peserta kemudian melanjutkan petualangannya ke Museum Daerah NTT. Bagi banyak peserta kunjungan kali ini merupakan untuk pertama kalinya, tapi tidak bagi saya. Sejak saya masih SD, terhitung sekitar 4 atau 5 kali saya mengunjungi museum ini. Cukup banyak memang, karena saat kecil saya sangat tertarik dengan segala sesuatu terntang sejarah, termasuk membaca buku sejarah.
Bagi saya mengunjungi museum kali ini seperti bernostalgia. Terakhir kali saya mengunjungi museum ini sekitar 10 tahun lalu. Jika dibandingkan dengan sekarang, tidak terdapat banyak perbedaan berarti, barang yang sama masih tetap berada di tempat yang sama. Sama persis seperti saat terakhir kali saya datang 10 tahun lalu. Namun ada beberapa penambahan koleksi yang saya lihat, yaitu bendera merah putih sepanjang 1000 m, yang masuk Rekor MURI sebagai bendera terpanjang di Indonesia, dan satu lagi yang katanya tidak begitu terkenal di NTT namun begitu terkenal di luar NTT, bahkan hingga ke manca Negara, yaitu Kerangka manusia Purba Homo Floresiensis. Kemudian ada satu lagi yang merupakan koleksi lama, namun baru sempat saya lihat dalam kunjungan kali ini, yaitu Kapak Perunggu dari pulau Rote, yang menurut buku sejarah yang pernah saya baca merupakan kapak dengan bentuk yang ter-indah di dunia.
Senang sekali bisa melihatnya kali ini, karena dulu ketika terkhir kali saya datang, menurut penjaga museum, kapak itu sedang dipinjamkan untuk dipamerkan di suatu Museum di Negeri Belanda. Sangat membanggakan sekali, karena ternyata di masa lalu nenek moyang kita sudah memiliki daya cipta yang luar biasa indah..
Setelah melihat-lihat koleksi meseum acara selanjutnya dilanjutkan di Aula museum daerah NTT. Acara di isi dengan penjelasan singkat mengenai Profil FPG oleh Bung Marthen Watrimny dan kemudian sedikit motivasi dari K’ Vester. Setelah itu para peserta diberi kesempatan untuk menyampaikan kesan selama mengukuti tour. Dan terakhir ditutup dengan permainan manarik yang dipandu Mas Soni,.membuat kami semua merasa begitu rileks dan gembira hingga sejenak melupakan rasa capek…
Sekian yang bisa diceritakan tentang rangkaian perjalana Flobamora Peace Field Trip kali ini. Banyak pengalaman baru dan juga teman baru yang di dapat dari perjalanan kali ini, yang tentunya sulit dilupakan.
Demikianlah, semua yang kita kunjungi hanyalah benda-benda mati, namun kitalah yang memberi mereka “ARTI”…

* Penulis adalah salah satu inisiator FPG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar