Pada dasarnya manusia diciptakan dengan latar belakang yang berbeda, kondisi fisik maupun phisikis yang berbeda. Perbedaan menjadi hakikat alami dan ciri dari khas bangsa Indonesia . Antara lain suku, ras, adat istiadat, budaya, sampai pada agama. Keberagaman merupakan salah satu cirri khas yang sungguh didasari semenjak Negara ini ada dan berdiri dan juga menjadi aspek penting yang digunakan para pendiri bangsa ini untuk merumuskan pancasila sebagai dasar Negara. Ciri khas dari suku bangsa, bahasa, adat istiadat dan ras yang ada pada Negara kepuluauan ini dipersatukan dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Keberagaman-keberagaman ini yang seharusnya menjadi identitas kebangsaan Indonesia ternyata menjadi tantangan tersendiri bagi eksistensi bangsa Indonesia . Aneka perbedaan yang melekat dalam ciri keberagaman ternyata menjadi bidang konflik dan kekerasan yang besar. Ada beberapa peristiwa di kupang yang menjadi ancaman keberlangsungan hidup aman dan tentram. Kasus kekerasan dengan mengatasnamakan etnis di Kelurahan Oesapa pada tahun 2009, Kecamatan Kelapa Lima Kota Kupang. Kekekerasan ini membuktikan bahwa hal ini jika berlangsung terus menerus akan menjadi ancaman serius bagi keutuhan bangsa Indonesia khususnya Nusa Tenggara Timur (NTT) sendiri.
Untuk ukuran NTT, daerah ini memiliki beranekaragam suku bangsa, bahasa dan golongan lainnya. Ada suku Timor, Rote, Sumba, Alor, Sabu dan Flores dengan total penduduknya sekitar 4 juta orang lebih. Dengan banyak suku seperti ini kemudian sering memicu konflik horizontal antar masyarakat.
Konflik yang terjadi, kalau ditilik lebih jauh lebih banyak terjadi akibat ketersinggungan akibat berbagai hal dan yang paling menonjol yakni etika komunikasi yang masih rendah. Ungkapan dalam menyapa sesama anggota masyarakat pun belum dijunjung hingga saat ini.
Menurut Pakar Komunikasi Universitas Nusa Cendana, Prof. Aloysius Liliweri, banyak konflik yang terjadi di NTT yang dipicu salah satunya yakni kurang dihargai oleh orang lain. Masyarakat NTT, identik dengan “Kasar”. Hal ini ditambah lagi dengan kondisi cuaca NTT yang semi arid atau setengah panas membuat karakteristik masyarakatnya cenderung emosional menanggapi suatu persoalan.
Hal lain menurut Prof. Liliweri, ada sejumlah kebijakan pemerintah yang turut menyumbangkan konflik di masyarakat. “Pemerintah sering menetapkan aturan dan kebijakan yang kadang tidak berpihak pada rakyat. Imbasnya, masyarakat yang harus menanggung kerugian yang tinggi. Hal ini terjadi terus menerus dan akhirnya masyarakat dituntut untuk berbuat sesuatu. Demonstrasi serta pengrusakan pun terjadi hingga bermuara pada mosi tidak percaya kepada pemerintah”, jelas Liliweri.
Kekerasan dan pertikaian dengan mengatasnamakan suku dan etnis disadari akan menimbulkan kerugian yang besar bagi siapa saja. Apalagi bagi mereka yang menjadi korban. Apapun wujudnya kekerasan adalah salah satu penyebab penderitaan dalam hidup manusia. Sungguh sangat disayangkan kalau kekerasan justru dipicu dengan mengatasnamakan suku atau etnis. Kita yang hidup dalam dunia ini ingin mencari kedamaian dirusak oleh sebuah perbedaan. Kekerasan yang terjadi juga bisa menyebabkan semakin melebarnya jurang pada kedamaian yang kita cari itu sendiri.
Perdamaian akan terwujud jika saling adanya sikap toleransi yang tinggi yang terus hidup dalam diri setiap orang di dunia ini. Toleransi berarti membuang jauh-jauh sikap ego dan sikap membenarkan diri sendiri dan penilaian yang salah terhadapa orang lain yang memiliki perbedaan. Toleransi adalah kata yang tepat untuk menggambarkan adanya penghargaan dan pengakuan terhadap perbedaan-perbedaan. Jika toleransi ini terus dipupuk maka kekerasan atas nama perbedaan apapun tidak akan terjadi. Perbedaan seharusnya dipandang sebagai suatu kekuatan yang apabila dibangun akan menciptakan sesuatu yang besar. Demikian juga kita para orang muda, dengan perbedaan yang ada mari kita ciptakan damai itu berawal dari diri sendiri dan kemudian menyebarkanya ke orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar